Jejak Rempah di Lautan (bukan sekadar cerita lama)
Ketika saya masih kecil, nenek sering bercerita tentang kapal-kapal besar yang datang membawa barang-barang dari jauh. Dia menggambarkan tumpukan kayu manis dan cengkeh seakan-akan mereka adalah harta karun. Saya waktu itu mengira itu hanya dongeng. Ternyata, rempah memang pernah jadi mata uang. Rempah-rempah menggerakkan peta dunia: rute dagang, peperangan, kolonialisasi, bahkan perpindahan budaya. Mereka bukan hanya bahan masak. Mereka adalah alasan kapal layar melintasi samudra, alasan kota kecil berubah menjadi pelabuhan sibuk, alasan selera manusia bercampur dan bertumbuh.
Saya suka membaca tentang ini. Ada artikel panjang yang membuat saya terpaku beberapa malam—tentang bagaimana pala dan lada merubah kurs politik. Kalau kamu penasaran, ada juga situs yang mengumpulkan banyak cerita kecil tentang rempah, seperti storiesofspice, yang menurut saya pas banget untuk menelusuri aroma sejarah itu lebih dalam.
Di Dapur Ibu, Semua Berbagi Aroma
Masuk ke dapur ibu, yang pertama terasa adalah bau bawang yang ditumis. Lalu, pelan-pelan, muncul wangi kunyit, jahe, dan ada sedikit sentuhan ketumbar. Itu kombinasi sederhana yang saya kenal sejak balita. Saya masih ingat suara wajan, suara sendok kayu yang diketuk di pinggir panci, dan tangan ibu yang cekatan. Sentuhan itu—tangan ibu yang menambahkan sejumput pala atau seiris serai—selalu membuat masakan berbeda, meski bahan nyaris sama. Kebiasaan kecil itu lah yang membuat rempah terasa seperti memori.
Rempah di rumah bukan hanya soal rasa. Mereka memberi kenyamanan. Saat flu, ibu menyiapkan jahe hangat. Saat pesta keluarga, ada kari yang dimasak berjam-jam. Rempah jadi bahasa tanpa kata di meja makan kami.
Resep dari Timur ke Barat — mudah dan seru!
Satu hal yang selalu membuat saya bersemangat adalah mencampurkan resep dari berbagai belahan dunia. Contoh sederhana: saya sering membuat nasi kuning versi cepat yang memadukan kunyit, daun salam, dan sedikit kayu manis—ide klasik Indonesia—tapi saya tambahkan sejumput jintan dan paprika untuk rasa yang lebih “global”. Hasilnya? Hangat, familiar, tapi juga ada kejutan. Kadang yang dibutuhkan cuma satu saja rempah baru untuk mengubah hidangan lama menjadi favorit baru.
Atau coba membuat rempah-marinated chicken ala Timur Tengah: yogurt, bawang putih, jintan, ketumbar, paprika, sedikit lemon. Rendam minimal satu jam, panggang. Dagingnya lembut, aromanya menggoda. Kalau lagi pengin cepat, saya tumis sayuran dengan sedikit garam, lada, dan taburan za’atar—langsung terasa berbeda walau peralatannya sederhana. Intinya: jangan takut bereksperimen.
Kultural dan Sosial: Rempah sebagai Pengikat
Rempah bukan hanya soal rasa. Mereka bercerita tentang identitas. Di beberapa komunitas, campuran rempah bisa jadi penanda daerah. Misalnya, kari Madura punya selera yang berbeda dengan kari India Selatan. Di rumah teman saya orang Arab, sambutan selalu disertai aroma baharat; sedangkan di rumah lainnya, bau bunga lawang dan cengkeh adalah tanda pesta. Perbedaan itu indah. Saya pikir, ketika kita memasak dengan rempah, kita sedang menyusupkan sedikit sejarah dan kebudayaan ke dalam panci.
Saya juga punya opini pribadi: pasar rempah lokal adalah harta yang sering diremehkan. Pasar itu berisik, berdebu, sering berantakan—tapi bau rempahnya? Luar biasa. Di sana saya membeli pala yang dipreteli tangan, dan sering dapat tips dari penjual tentang cara menyimpan rempah supaya awet. Kecil, nyata, dan penuh cerita.
Penutup: Lebih dari Sekadar Bumbu
Rempah menghubungkan. Mereka adalah benang merah dari kapal dagang kuno sampai piring ibu di rumah kita. Setiap butir lada, tiap serbuk kunyit, membawa warisan, perjalanan, dan kadang rindu. Jadi, ketika kamu menaburkan rempah berikutnya, ingatlah: kamu sedang menambahkan rasa, tentu. Tapi juga sejarah, memori, dan sedikit petualangan.
Kalau kamu mau mulai, ajak teman atau keluargamu bereksperimen. Mulailah dari satu rempah baru tiap minggu. Catat apa yang kamu suka. Nikmati prosesnya. Rasanya, itu cara paling sederhana untuk merayakan dunia lewat dapur.