Rempah itu seperti memori dalam stoples kaca: aromanya bisa langsung mengembalikan saya ke satu sore di pasar lama, atau ke dapur nenek yang selalu sibuk. Seiring menulis ini saya tersenyum membayangkan tumpukan kayu manis, pala, dan kapulaga berbaur harum—dan betapa rempah pernah menjadi barang mewah yang mengubah jalur laut dan takhta kerajaan. Tapi rempah bukan hanya sejarah; ia hidup di piring-piring kita, di tangan-tangan yang memasak, dan di kisah-kisah keluarga yang turun-temurun.
Jejak sejarah: dari perdagangan hingga dapur
Pada masa lampau, cengkeh, pala, dan lada adalah valuta yang membuat raja dan pedagang berlomba-lomba mencari jalur baru. Bangsa-bangsa seperti Portugis, Belanda, dan Inggris menempuh samudra bukan sekadar untuk menyebarkan pengaruh, tapi juga untuk menguasai sumber rempah. Perdagangan rempah memperkenalkan dunia pada satu sama lain—tanaman tropis yang tadinya hanya tumbuh di satu pulau tiba-tiba jadi bumbu pokok di negeri jauh.
Sekarang rempah ada di mana-mana. Lalu lintas global membuat masakan jadi sangat mudah diakses: kari India bisa dinikmati di sudut kota Jakarta, sementara kayu manis dari Sri Lanka hadir di roti lapis di Eropa. Saya sendiri pernah merasa seperti penjelajah saat pertama kali mencampurkan ketumbar panggang dan jintan di rumah—biasanya saya hanya menambahkan garam, tapi satu campuran kecil itu mengubah segalanya.
Kenapa rempah begitu penting?
Ada yang bilang rempah hanya untuk rasa, tapi perannya lebih dari itu. Rempah mengawetkan makanan, menyeimbangkan rasa, bahkan membawa efek kesehatan: jahe untuk meredakan mual, kunyit yang anti-inflamasi, kayu manis yang bisa menenangkan perut. Di masakan tradisional, satu atau dua rempah menjadi identitas—seperti paella yang tak lengkap tanpa saffron, atau masakan Maroko yang terasa kurang tanpa paprika dan jintan.
Saya masih ingat pengalaman ikut kelas masak di sebuah riad di Marrakech—instrukturnya menumpuk rempah di tangan lalu meminta kami mencium. Bau itu, bagi saya, seperti peta rasa; tiap rempah punya cerita dan fungsi yang berbeda. Dari situ saya belajar menghargai proporsi lebih daripada jumlah: sedikit zesty di awal, hangat di akhir, itulah seni meracik rempah.
Resep dunia yang sederhana dan memikat (versi saya)
Saya suka resep yang mudah ditiru di dapur rumahan. Misalnya, blend rempah sederhana ala rumah: sangrai 1 sdm ketumbar, 1 sdm jintan, lalu tumbuk bersama 1 sdt lada hitam dan sejumput garam—tambahkan ke tumisan sayur atau daging, dan bau rumah langsung berubah. Untuk kari cepat, tumis bawang putih dan bawang merah, masukkan pasta tomat sedikit, lalu garam-rempah: kunyit, ketumbar, jintan, dan cabai. Tuang santan atau kaldu, biarkan mendidih sampai mengental. Tidak perlu lengkap resep istimewa untuk merasakan keajaiban rempah.
Saya sering bertukar resep dengan teman-teman dari berbagai negara—dan setiap cerita selalu menarik. Ada yang mengirimkan resep bumbu rendang keluarga, ada yang mengajarkan racikan za’atar sederhana. Untuk inspirasi visual dan kisah rempah yang membuat saya terpesona, saya suka membaca blog seperti storiesofspice, yang menggabungkan sejarah, resep, dan narasi personal dengan indah.
Rempah, budaya, dan meja makan kita
Rempah bukan hanya bahan; ia penghubung budaya. Di meja makan, rempah bisa membuka percakapan tentang asal-usul, migrasi, dan adaptasi. Misalnya, ada versi kari yang berbeda-beda di Asia Selatan, Afrika, dan Kepulauan Karibia—semua punya akar sama namun berkembang sesuai ketersediaan bahan lokal dan selera. Bagi saya, memasak dengan rempah adalah cara merayakan keragaman—satu panci kecil bisa jadi jendela ke dunia.
Kalau ditanya apa yang paling saya cintai dari rempah, jawabannya sederhana: kemampuannya membuat yang biasa jadi luar biasa. Sebuah piring nasi polos bisa hidup kembali dengan taburan lada dan parsley, atau secangkir susu hangat berubah jadi pelipur lara dengan sedikit kayu manis. Jadi, ayo buka stoples rempah di dapurmu, cium aromanya, dan buat resep kecil yang kelak jadi cerita di meja keluarga.