Rempah yang Mengembara: Sejarah, Resep Dunia, dan Cerita Rasa

Rempah selalu terasa seperti teman lama yang datang ke dapur saya dengan segenggam cerita. Ketika saya membuka toples pala atau menggesek batang kayu manis, ada rasa seperti membaca surat dari masa lalu. Rempah bukan cuma bumbu; mereka adalah peta perjalanan manusia, aroma yang menandai pertemuan budaya, perang dagang, dan cinta yang dituangkan ke panci. Di bawah ini saya ingin berbagi sedikit sejarah, beberapa resep dunia yang sederhana, serta bagaimana rempah mengikat budaya kuliner di berbagai belahan bumi.

Mengapa rempah begitu berharga dulu?

Dulu, rempah adalah mata uang. Lontaran kata tadi mungkin sudah sering kalian dengar—tetapi bayangkan lada, cengkeh, dan pala yang menyusun jaringan yang menghubungkan Nusantara, Arab, India, hingga Eropa. Bangsa-bangsa berlayar ribuan mil demi sebutir pala. Rempah punya peran lebih dari penyedap: pengawet, obat, bahkan simbol status. Di musim panas yang panas, garam dan lada membantu mengawetkan daging. Dalam pengobatan tradisional, jahe dan kayu manis menenangkan perut. Dalam perjamuan istana, saffron menandai kemewahan.

Saya sendiri masih ingat pertama kali memegang sekuntum safron kering di pasar. Warnanya begitu merah menyala, aromanya halus namun menancap. Saya merasa seperti sedang memegang sepotong sejarah yang dibawa gelombang dan karung-karung kapal.

Apa resep dunia yang bisa dicoba di rumah?

Rempah membuat resep sederhana menjadi spesial. Coba tiga contoh ini, yang pernah saya praktikkan berulang kali pada malam-malam dingin atau pesta keluarga kecil:

– Garam Masala ala India: Sangrai biji ketumbar, jintan, kapulaga, cengkeh, dan kayu manis sebentar. Haluskan. Tambahkan sedikit pala. Taburkan pada kari atau sup. Satu sendok kecil bisa mengubah kaldu menjadi sesuatu yang hangat dan mendalam.

– Ras el Hanout ala Maroko: Campurkan ketumbar, jintan, kayu manis, paprika, kunyit, jinten manis, dan sejumput bunga lawang jika ada. Gunakan pada tagine ayam atau sayur. Saya suka menumis bawang bombai dengan rempah ini, lalu menambahkan aprikot kering dan sedikit air. Aroma yang muncul selalu memanggil tetangga untuk mampir.

– Rendang sederhana (sentuhan Nusantara): Sangrai sedikit biji pala dan kapulaga, tumbuk bersama cabe, bawang merah, bawang putih, serai, dan jahe. Masak daging dengan santan sampai mengental dan rempah meresap. Proses lama, tetapi hasilnya: daging yang penuh lapisan rasa, pahit, manis, dan pedas bercampur jadi satu. Saya biasanya membuat ini saat ada perayaan kecil; rumah langsung hangat.

Bagaimana rempah membentuk budaya kuliner?

Rempah mengajarkan kita tentang pertukaran. Dalam satu piring ada pengaruh dari pedagang, penjajah, imigran, dan petani lokal. Sambal di meja makan Indonesia berisi cabe yang datang dari Amerika, sedangkan teknik pengolahan bisa saja berasal dari India atau Tiongkok. Di kota saya, warung kecil sering menyajikan masakan yang merupakan hibrida—rendang dengan sentuhan kari, atau pasta dengan taburan serbuk paprika yang mengingatkan perjalanan panjang rempah.

Budaya kuliner juga menjadi cara kita menyimpan memori keluarga. Aroma serai mengingatkan saya pada liburan kecil di kampung, sementara wangi kayu manis membawa saya kembali ke pagi Natal pertama yang saya rayakan sendiri di kota asing. Rempah jadi bahasa tak tertulis yang menghubungkan generasi.

Apakah rempah masih berkelana hari ini?

Kini jalur rempah lebih singkat. Kontainer dan pesawat menggantikan karung kapal, namun ceritanya tetap hidup—berubah. Ada gerakan slow food yang menghidupkan kembali rempah lokal, petani kembali menanam tanaman harum yang sempat terlupakan, dan kita mulai menghargai keberlanjutan. Bahkan beberapa blog dan arsip digital mengabadikan kisah-kisah rempah, seperti yang saya temukan saat menjelajah web, salah satunya di storiesofspice, yang menuliskan berbagai catatan menarik tentang perjalanan dan penggunaan rempah.

Di dapur saya, rempah terus menjadi partner eksperimen. Kadang saya berani mencampur yang kontras—sebiji kapulaga pada saus tomat, atau sedikit jintan pada kue cokelat—dan sering kali terasa janggal pada awalnya, lalu menjadi favorit keluarga. Rempah mengajarkan satu hal: berani mencampur, belajar dari masa lalu, dan merayakan hasil yang tak terduga. Mereka mengembara bukan hanya menyusuri samudra, tetapi juga masuk ke panci-panci kita, menciptakan cerita rasa yang terus dituturkan dari mulut ke mulut.